"Tidak mudah menemukan kebahagiaan di dalam diri kita sendiri, dan tidak mungkin menemukannya di tempat lain"
-Agnes Repplier-
"Lakukan semuanya dengan hati yang bahagia." Duluh saya berpikir itu hanyalah sekedar kalimat melankolis yang dikarang oleh seseorang tanpa makna apa2. "Bahagia", satu kata yang sederhana yang sebelumnya (ternyata) belum bisa saya mengerti. Saya senang jika dosen berhalangan hadir sehingga sehingga saya bisa menghabiskan lebih banyak waktu untuk bercanda dengan teman-teman saya, saya senang jika papa mengirim uang bulanan yang lebih, oh...dan satu lagi, saya senang menghabiskan waktu dengan saudara2 saya di PMKO.
Bahagia saya hanya sesederhana itu. Lalu kemudian saya masuk ke dunia yang lebih beragam, dimana saya tidak hanya bertemu dengan orang-orang yang memahami saya. Di lingkungan itu saya berusaha menyesuaikan diri, belajar banyak hal2 baru yang sebelumnya saya pikir tidak pernah eksis di dunia ini. Terlalu sibuk dengan euforianya membuat saya lupa akan perasaan saya sendiri. Saya hanya bertahan. Tapi percayalah, saya pernah berusaha untuk mengimbangi dunia itu. Tapi lagi2 apa yang tidak dilakukan dengan hati yang ikhlas hanya akan berakhir sia2 dan tidak pernah menjadi berkat bagi saya, bagi orang2 yang saya sayangi. Kemudian rasa lelah itu datang, dan saya sadar kalau hati saya tidak sedang baik-baik saja.
Mata saya buta akan keindahan yang selalu Tuhan sediakan setiap harinya. Kicau burung di pagi hari, langit jingga ketika matahari terbenam, bahkan rasa makanan yang (sebenarnya) begitu nikmat. Tidak ada satupun yang bisa saya nikmati lagi. Selama ini semuanya terabaikan, diganti dengan keluhan-keluhan tak terucapkan.
Lalu pertanyaan itu tiba2 muncul, "apa kau bahagia ?". Orang2 disekitar saya mungkin dapat melihat tolak ukurnya secara fisik. Badan makin kurus, kantung mata semakim menjadi-jadi, senyuman yang "maksa" banget (walaupun tetap cantik setidaknya menurutku ;) Tapi hati, bagaimana orang2 dapat melihatnya. Dari sinar mata ? Trust me, tidak banyak orang yang langsung menatap ke mata saya hanya untuk mengetahui seperti apa perasaan saya. Semuanya tersamar pada senyum yang indah (sorry of being this narcist)
Beberapa orang berkata bahwa memulai adalah bagian tersulit, lama2 saya akan terbiasa dan menikmati hidup ini. Tapi tidak ! Saya mencoba...dan rasanya..u don't wanna felt it. Saya tau, Ikal sampai ke Eropa bukan tanpa kesulitan. Tapi satu hal yang pasti, dia mengejar apa yang diimpikannya. Dia tidak pernah salah memilih. Dia tidak pernah mencari aman dengan berdiam ditempat yang tidam seharusnya hanya karena dia merasa tidak punya pilihan. Saya pernah membaca sebuah buku yang isinya kurang lebih "jalani kehidupanmu dengan bahagia karena kesempatan yang akan datang menangkapmu", tapi bagaimana mungkin saya bisa menanti kesempatan itu datang ketika bom waktu dalam diri saya rasanya akan segera meledak. Lalu kemudian, seseorang yang sangat saya sayangi berkata, "jika kau tidak bahagia, lalu untuk apa diteruskan". Seakan-akan baginya kebahagiaan saya lebih penting dari pada hal yang lain. Dan saya percaya padanya lebih dari siapa pun dan lebih dari buku yang pernah saya baca.
Saya percaya, di luar sana masih banyak jiwa yang tidak bebas karena harus menghabiskan tiap detik dari hidupnya dengan cara yang tidak membuat mereka bahagia. Memang muda berkata "syukuri, jalani saja dengan ikhlas." Tapi bicara tidak semuda melakukan. Kedengaran memang begitu pesimis, tapi berjuang untuk hal yang tidak kau cintai sama saja membohongi diri sendiri. Saya selalu bermimpi untuk membahagiakan mereka yang layak saya bahagiakan, tapi bagaimana saya bisa mewujudkannya jika saya sendiri tidak menjalani dunia saya dengan hati yang bahagia melainkan dengan keluhan-keluhan.