Penghujung tahun menjadi moment yang tepat untuk berkumpul bersama keluarga. Cerita-cerita tentang masa lalu diungkit kembali, kebanyakan dari cerita itu adalah yang lucu setidaknya bagi orang-orang tuaku dan aku tak mengerti dimana bagian lucu dari cerita itu, tapi mereka tertawa terbahak-bahak dan bagiku itu sudah cukup, mereka bahagia. Oh iya, mungkin yang cukup lucu bagiku adalah cerita tentang teman kecil mereka yang tiap hari bersembunyi di lemari pakaian karena malas ke sekolah. Dan suatu hari, ketika ayahnya membuka lemari itu, muncullah sepasang kaki di sela2 pakaian yang digantung dan langsung saja beliau menarik kaki itu dan jeng..jeng..muncullah penampakan anaknya lengkap dengan pakaian sekolah. Tidak perlu kuceritakan tentang akhir kisah dari anak itu, kalian bisa menebak sendiri apa yang dilakukan sang ayah padanya. Selain cerita yang cukup lucu itu, ada hal lain yang menarik perhatianku ketika orang-orang tua berkumpul dan saling berbagi kisah. Ialah nama dari orang-orang yang sedang mereka kisahkan. Nah, itulah hal yang menjadi latar belakang dari tulisan ini.
Kata orang nama adalah doa, dan ku rasa kita sepakat bahwa sebaik-baiknya doa adalah yang menyiratkan berkat pun harapan. Jadi tidak kurang dan tidak lebih, dibalik sebuah nama ada harapan indah yang digantungkan orang tua pada anaknya.
Di Toraja, pemberian nama pada seorang anak sependengaranku ada beberapa macam. Pertama, seperti perkataan orang-orang bahwa nama adalah doa, sebagian orang tua di Toraja dengan penuh kebijaksanaan dan pertimbangan memberikan nama yang indah nan penuh harapan untuk sang anak, misalnya Maria Datu La'bi. Maria (perawan yang melahirkan bayi Yesus), Datu (yang terutama/teratas), La'bi (lebih)..see, 3 kata dari nama itu semuanya bermakna positif. Belum lagi yang saat ini sering didengar saat akta baptisan kudus di gereja. Pendeta sering menyebut nama Kameloan (kebaikan), Melona (baiknya), Shalom (damai sejahtera), dll.
Kedua, nama yang berasal dari orang tua yang praktis. Orang tua dalam golongan praktis yang kumaksud adalah mereka yang umumnya lupa dengan tanggal lahir sendiri sehingga membuat hari ulang tahun sekehendak hati. Dan manusia yg lahir di era 90an, biasanya memanggil mereka dengan sebutan "nek". Nah, golongan ini biasanya menamai anak sesuai dengan nama hari. Sepertinya kebanyakan dari orang Toraja ditakdirkan untuk lahir di hari Jumat, Sabtu, dan Minggu. Namun bukan orang Toraja namanya jika namanya tidak disebut dengan dialek Toraja. Maka timbullah nama Duma', Sattu, dan (tentunya) Minggu. Selain nama hari, orang tua jenis ini biasanya memberikan nama pada anaknya sesuai dengan peristiwa yang terjadi ketika sang anak dikandung. Misalnya "Tappe" (ditinggalkan) yang diberikan pada sang anak karena ayahnya meninggal sebelum sang anak dilahirkan. Atau juga "Tambaru" (tahun baru) karena si anak lahir telat saat pergantian tahun.
Ketiga, nama yang ditambahkan sesuai dengan kebiasaan sang pemilik nama. Ini bukan lagi pemberian dari orang tua melainkan akibat dari apa yang sering dilakukan oleh sang pemilik nama. Semisal "Sampe panjar" untuk Bapak yang sering meminta panjar sebelum melaksanakan tugasnya. "Sampe kayok" (kayok=garuk), bapak yang suka minta digaruk oleh istrinya 😆. Dan masih banyak lagi Sampe2 lainnya.
Keempat, nama yang diberikan oleh orang tua (atau kakak perempuan) yang sok kebule'-bule'an. Tipikal manusia seperti ini biasanya mencari dan menemukan segala hal melalui internet termasuk urusan nama. Sebut saja nama "Erland Vincent Gavrila". Ketik saja nama ini di google, niscahyah akan muncul artinya yang kurang lebih adalah rajawali perkasa yang sanggup mengatasi segalah kesulitannya dengan kekuatan dari Tuhan. Ah, indah sekali.
Atau gabungan nama pemain sepak bola "Lionel Christiano Alesandro". Orang tua ini biasanya tidak lagi menganggap marga sebagai suatu hal yang harus dipertahankan, dan saat sang anak mulai bertumbuh dan sering sakit-sakitan.. barulah orang tuanya senewen ingin mengganti nama sang anak.
Kelima, nama yang diberikan seperti dengan nama yang tertulis dalam Alkitab semisal "Matius", "Markus", "Yusuf", "Ester", "Daud", dll. Saat di translete ke dalam bahasa Toraja maka muncullah nama seperti Matiu', Makku', Ucu', Ette, dan Dau'.
Keenam, nama yang kedengaran enak walaupun lumrah. Mungkin orang tua jenis ini ketika masih muda dulu sangat suka menonton tayangan TV nasional yang berpusat nun di pulau Jawa sana (itu pun hasil nebeng di tetangga sebelah rumah), sehingga ketika sang anak lahir jadilah nama semisal Pratiwi Anggreini Sulo muncul. Syukurnya orang tua jenis ini masih berbesar hati memberikan marga dibelakang nama anaknya yang kejawa-jawaan itu. Ketika sang anak beranjak dewasa, pernyataan seperti "orang jawa ya?" "kok namanya kayak orang jawa ?" "kamu beneran orang toraja? " (padahal lindo2 bulinangko liu 😅) Dan disaat seperti itu, marga/fam selalu menjadi penyelamat.
Ya, ada begitu banyak cara bagi orang Toraja untuk menemukan nama yang tepat bagi anaknya. Dan sebaik apapun nama itu..terkadang akan kedengaran aneh atau mungkin juga unik bagi orang luar. David menjadi Dapi', Tomas menjadi Toma'...hingga yang berubah total semisal Paulus menjadi kotto 😅
Pada akhirnya, nama tetaplah nama......tanpanya kau tidak ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar